KH. Imam Muhadi Al Hafidz

     Beliau Lahir pada tanggal 25 Mei 1962 di desa terpencil (pelosok) tepatnya di desa Sambirejo Kec. Bringin, Kab. Semarang dari seorang ibu yang bernama Ibu Mini, Istri kedua dari Kyai Nurbuat. Masa kanak-kanak dijalani beliau di Sambirejo sebagaimana anak-anak kampung pada umumnya. Mencari kayu bakar, menggembala ternak, menyabit rumput adalah aktivitas yas sudah biasa beliau jalani, karena beliau hanya diasuh oleh ibunya yang seorang single-parent yang pekerjaannya hanya berjualan kecil-kecilan.

    Beliau sering membantu ibunya berjualan dengan berjalan kaki sambil memikul dagangan ibunya dari Sambirejo hingga sampai ke Salatiga. Pernah suatu hari karena sudah kesiangan beliau membawakan dagangan ibunyatanpa sarapan terlebih dahulu. Karena kelelahan beliau meminta kepada ibunya dibelikan gemblong (gethuk telo). Tapi karena sudah kesiangan ibunya menolak. Beliau menangis namun tetap patuh kepada Ibunya dan tetap memikul ayam sampai ke pasar padahal beliau masih kecil.

    Ayah beliau Simbah Kyai Nurbuat tinggal di dusun Larangan desa Wonoyoso. Konon katanya Simbah Kyai Nurbuat tidak mau mengakui beliau sebagai anaknya karena saking sayangnya Simbah Kyai Nurbuat terhadap beliau. Karena setiap anak laki-laki yang diasuh oleh Simbah Kyai Nurbuat semuanya meninggal di usia muda.

    Semasa muda beliau pernah menjadi seorang penyanyi dengan ikut grup musik, sehingga beliau sering manggung di desa-desa lain. Hal itu beliau lakukan tanpa sepengetahuan Ibu beliau. Suatu saat ketika Ibu beliau tahu, Ibu beliau marah besar. Beliau dilarang pulang ke rumah, tidak boleh makan di rumah sehingga beliau menginap di Masjidan poskamling. Setelah 7 hari berlalu, ketika beliau tidur di Gardu Poskamling, Ibunya datang dengan membawa tas yang berisikan pakaian-pakaian dan beras seta menyuruh beliau untuk menuntut ilmu dengan mengaji di pondok "Roudhotut Tholibin" Jragung asuhan KH. Muhammad Marwan.


    Beliau pergi ke pondok hanya diantarkan oleh bapak Sonhaji saudaranya. Pertama kali di pesantren beliau langsung mengikuti kelas 'imriti, padahal beliau belum pernah belajar di pesantren sebelumnya. Namun karena kecerdasan, keuletan dan ketekunan beliau bisa mengikuti pelajaran tersebut dengan lancar. Bahkan nadzom 'imriti terhafalkan bolak-balik (terbalik). Sehingga beliau mendapat perhatian kusus dari pengasuh. Beliau di pondok terkenal tekun, disiplin dan wira'i sehingga memasakpun beliau menyendiri (sendiri) untuk lebih hati-hati. Selain itu beliau suka beriadhoh. Di antaranya : dawamul wudhu' dan Qiyamul Lail

    Setelah 3 tahun di pesantren dan sudah tamat Alfiah Ibnu Malik beliau berniat menghafal Al Quran. Dengan ketekunan dan kegigihan disertai dengan bimbingan dan perhatian dari Hadhrotus Syaikh KH. Muhammad Marwan beliau terus belajar menghafal Al Qur an. Namun terkadang perhatian kusus dari Syaikh sering menimbulkan rasa iri di antara santri-santri senior. Sehingga beliau sering diolok-olok oleh para santri senior, “awas kyai gede liwat”. Ada yang bilang juga “wah, kyaine panting/tekun oleh ngapalke”. Namun olok-olok/gojlokan dari santri senior tidak menjadikan beliau kecil hati, malah beliau tambah tekun. Dalam menghafal beliau mencari tempat-tempat sepi (di bawah trondakkan/tangga pondok). Berkat ketekunan serta keuletan dan doa masyayikh, beliau bisa menghafaikan Al Qur an 30 Juzz dalam waktu 16 bulan (1 tahun lebih 4 bulan).

    Setelah 5 tahun menuntut ilmu di pondok “Roudhotut Tholibin” di bawah asuhan KH. Muhammad Marwan, beliau pulang ke rumah (boyong). Tidak begitu lama di rumah beliau di tawari menikah oleh Bp. Muslim (mbah modin) dengan seorang perempuan anak dari Ibu Siti Qoni'ah seorang janda yang saat itu masih mondok di PP. Al-Falah Ploso Kediri. Putri dari Bp. Kyai Hasanuddin (Almarhum). Namun setelah beliau melamar perempuan tersebut, di tinggal mondok kembali ke pondok “Al: Anwar” Sarang yang diasuh oleh Hadhrotus Syaikh KH. Maimun Zubair. 

    Karena Beliau hafal Al Qur an beliau langsung mendapat perhatian dari Hadhrotus Syaikh. Sehingga waktu mengaji beliau disuruh di barisan depan seraya berkata "Cung, awakmu nak ngaji kene ning ngarep, mergo zaman akhir iki akeh Ulama' sing 'alim Qur an ning ora 'alim kitab, sing 'alim kitab ora 'alim Qur an.” 

    Setelah 1 tahun memperdalam ilmu fiqih di bawah asuhan Hadhrotus Syaikh KH. Maimun Zubair, beliau pulang dan meminang putri idaman, yaitu Ibu Nyai Hj. Nur Hidayah. Beliau menikah di usia 22 tahun sedang Ibu Nyai berumur 18 tahun. 

    Setelah akad nikah beliau kembali memperdalam ilmu agama di PonPes “Al Falah” Ploso Mojo Kediri di bawah asuhan Hadhrotus Syaikh KH. Nurul Huda Jazuli yang notabennya adalah pondok dari istrinya Hj. Nur Hidayah. Namun baru 3 bulan di pondok Allah berkehendak lain, mertua beliau Ibu Nyai Hj. Siti Qoni'ah sakit, sehingga beliau mau tidak mau berdua diminta pulang untuk merawatnya karena putra-putri dari Ibu Siti Qoni'ah masih kecil-kecil. Sewaktu beliau sowan kepada Hadhrotus Syaikh KH. Nurul Huda disuruh boyong seraya berkata, "yo wis cukup semene wae iki tak sangoni kurikulum ploso kembangno ning umahmu besuk”. 

    Seperti umumnya santri setelah pulang dari pondok dan menikah, sering dicoba di segi ma'isyah, begitupun beliau. Namun beliau gigih dan ulet selalu berusaha ikhtiyar untuk mencari ma'isyah dengan berbagai macam usaha. Mulai menjahit kasur — mengisi kasur, jual sarung, usaha meubel dll. Namun belum juga berhasil. 

    Setelah 6 bulan ikut mertua beliau diminta oleh bapaknya Kyai Nur Buat untuk domisili di Larangan Wonoyoso. Namun baru beberapa bulan tinggal di Larangan , Kyai Nur Buat meninggal dan beberapa bulan kemudian ibunya berpulang ke Rohmatullah. Masa-masa saat itu adalah masa yang sulit, berbagai cobaan dan ujian datang bertubi-tubi, terutama masalah ma'isyah. Berbagai usaha terus dicoba, mulai membuat batu-bata sampai bertani beliau coba, namun hasilnya nonsen. Sampai pernah nggarap sawah (pertanian) semua perhiasan Istrinya di jual untuk modal. Ketika padi ditanam bagus (ijo royo), tapi waktu tinggal dipanen habis dimakan tikus. Akhirnya beliau banting haluan untuk mengaji saja dan istrinya yang berusaha mencari ma'isyah.

    Setelah 2 tahun di Larangan dan beliau berniat mengaji, mulai ada santri yang ingin mengajidan mondok kepada beliau. Semakin lama semakin banyak yang mengaji, sehingga beliau berniat untuk membuat gubug sebagai tempat menginap para santri. Tepatya pada tahun 1988 beliau mendirikan Ponpes yang dinamai PonPes "Manba'ul Qur an"

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

#